Minggu, 21 Agustus 2016

KERAJINAN GERABAH PLERED

Sentra industri keramik Plered berada di wilayah selatan Kab Purwakarta. Plered adalah satu kecamatan yg mempunyai luas wilayah 36,79 kilo meter persegi dengan jumlah warga tercatat kurang lebih 54,337 jiwa. Sentra industri mungil ini terletak di Desa Anjun, Citeko, & Desa Pamoyanan.
Plered telah lama dikenal juga sebagai daerah penghasil keramik. Dari area ini, beraneka wujud & ukuran keramik dibuat. Ada yg mungil, sedang sampai yang besar dgn beragam aneka rancangan. Daerah ini dapat ditempuh dari Jakarta melalui jalan tol Cikampek – Purbaleunyi dengan jarak tempuh berkisar 1,5 – 2 jam perjalanan
Pembuatan kerajinan keramik Plered benar-benar telah berjalan turun temurun dan diperkirakan dimulai sejak th 1904.
Kota mungil yang juga sebagai kota tertua di Kabupaten Purwakarta ini mempunyai histori panjang yg tak lepas dari kerajinan keramik. Bahkan konon kerajinan berbahan dasar tanah liat ini, menurut warga setempat telah ada sejak era neolitikum. Walau keabsahan sejarah ini tetap bisa diperdebatkan, sebab tidak sedikit versi sejarah awal mula kerajinan keramik di daerah ini.

Dari keterangan warga kurang lebih pada era neolitikum telah ada warga yg berdatangan ke daerah Cirata menyusuri Sungai Citarum. Terbukti dari hasil penggalian di daerah Cirata, sempat ditemukan peninggalan dari batu, kapak persegi, fasilitas buat menumbuk & alu dari batu, termasuk juga ditemukan belanga & periuk dari tanah liat, pula ditemukan adanya panjunan (anjun) ruangan menciptakan keramik.
“Penemuan ini menunjukan bahwa masyarakat di daerah ini mempunyai aktivitas bertani, berhuma di ladang, menanam padi & berburu. Sampai hasilnya seiring perkembangannya, keramik Plered saat ini populer. Dimasa sekarang kerajinan keramik Plered bukanlah hal yang asing lagi bagi penduduk jawa barat pada khususnya, bahkan juga untuk sebagian penduduk Indonesia. Penjualannyapun telah hingga luar negara.
Pada awalnya, penduduk setempat lebih kurang menciptakan keramik dari tanah liat merah & termasuk juga gerabah ini buat memenuhi perkakas rumah tangga semata. Namun, terhadap perkembangannya kerajinan tersebut sanggup jadi sumber pendapatan tersendiri bagi warga sekitar. Di sepanjang jalan nampak berjejer pajangan keramik yg menarik perhatian.
Bermacam Macam wujud kerajinan keramik, mulai sejak dari perabotan rumah tangga sampai mainan anak-anak dapat jadi suvenir yg menarik. Jikalau berkunjung segera, tidak hanya dapat menonton serta-merta pengerjaan keramik, anda serta dapat mendapati harga lebih murah. Ada yg dipasarkan mulai sejak dari Rupiah 5.000,- hingga ratusan ribu rupiah. (WWW.KERAJINAN.ID)

SITU WANAYASA

Pengembangan wisata di Purwakarta tengah gencar dilakukan. Bukan hal tidak mungkin, kota yang dekat Bandung ini akan menjadi saingan baru dalam menarik perhatian wisatawan. Para pelancong yang datang dari arah barat akan menjadikan Purwakarta sebagai tempat persinggahan. Potensi wisata di Purwakarta memang melimpah, dari wisata danau/waduk, wisata kuliner, hingga wisata pentas seni budaya.

Inilah yang sekarang sedang digenjot oleh pemerintah setempat yang dipimpin Bupati Dedi Mulyadi. Pembenahan dan tata kota terus dilakukan. Tak terkecuali lokasi-lokasi wisata potensial pun dibangkitan agar menjadi magnet baru kunjungan wisatawan.
Salah satu destinasi wisata yang kini sedang digarap adalah Situ Wanayasa. Danau yang awalnya milik PJT II Jatiluhur ini kewenangan pengelolaannya kemudian dilimpahkan ke Pemkab Purwakarta. Situ Wanayasa memang dari dulu menjadi tujuan wisata alam yang banyak menarik pengunjung. Sayangnya, pengelolaan danau ini kurang maksimal. Kini, penataan pun dilakukan. Penunjang keindahan alam di Situ Wanayasa memang menyajikan keindahan tersendiri.
Danau alam seluas ±7 ha ini berada pada ketinggian 600 m DPL dengan udara yang sejuk berlatar belakang panorama Gunung Burangrang. Di tengah danau ada pulau dimana terdapat makam RA. Suriawinata. Beliau adalah seorang pendiri Purwakarta yang juga Bupati Karawang ke-9 yang meninggal pada1827. Untuk objek wisata penunjang di sini pun terbilang lengkap. Di sini ada sumber air panas Ciracas (±8 km dari Situ Wanayasa) dan air terjun Curug Cipurut yang berjarak kurang lebih 3 km arah selatan Wanayasa. Belum lagi di sini banyak penjual sate maranggi yang sudah dikenal sebagai salah satu andalan wisata kuliner khas Purwakarta.   
Pengembangan area wisata Situ Wanayasa rencananya akan dimulai pada Mei 2016. Sekarang sedang menunggu hasil lelang tender. Di sini nantinya akan dibangun air mancur yang tidak kalah menarik dengan air mancur di Taman Sri Baduga. Selain pembangunan air mancur, juga tengah dipersiapakan segi fasilitas untuk wisatawan di Situ Wanayasa.

Nantinya di area Situ Wanayasa akan ada hotel berbentuk resort. Di belakangnya pun akan dibangun tempat wisata unik yakni adanya taman dengan konsep senyap. Ya, pengunjung tidak boleh membawa perangkat digital saat masuk ke taman ini. Taman ini diharapkan bisa menjadi tempat untuk menyepi dan kontemplasi dengan konsep kembali ke alam.

Rute Menuju Situ Wanayasa
Bila menggunakan kendaraan pribadi dari arah Jakarta dengan menggunakan jalur tol Jakarta-Cikampek. Lanjut ke arah Bandung melalui tol Purbaleunyi kemudian keluar di pintu tol Jatiluhur berbelok ke kiri ke arah kota Purwakarta. Lalu ikuti arah jalan menuju Wanayasa atau Pasar Rebo. Letak danau sebelum Terminal Wanayasa.

Sementara jika dari arah Bandung dapat ditempuh melalui jalur tol dan keluar tol Jatiluhur seperti di atas. Alternatif lainnya bisa melalui dari jalur Lembang ke arah Subang, melewati Gunung Tangkuban Parahu - Sari Ater - belok ke kiri di Jalan Cagak menuju Wanayasa, letak situ setelah melewati Terminal Wanayasa. (WISATAJABAR.CO)

KAMPUNG TAJUR

Kampung Tajur ini merupakan daerah yang dikembangkan sebagai tempat wisata berbasis wawasan lingkungan dan budaya setempat dengan melibatkan peran serta masyarakat yang tinggal di area tersebut. Desa Wisata ini terletak di Desa Pasanggrahan Kecamatan Bojong, sekitar 35 Km dari Kota Purwakarta, kurang lebih 650 meter di atas permukaan laut. Temperatur udara rata-rata berkisar antara 17 - 20 derajat Celsius. Dikelilingi pepohonan, bukit hamparan sawah, pemandangan alam Gunung Burangrang dan areal perkebunan rakyat.

Jaringan jalan yang melintasi Desa Wisata ini meliputi jalan kabupaten, jalan desa, jalan batu dan jalan tanah. Batas wilayah desa wisata ini sebelah selatan Gunung Burangrang, sebelah utara Desa Cikeris, sebelah timur Desa Cihanjarombakan dan sebelah barat yaitu Desa Bojong Timur. Desa Wisata Lembur Kahuripan ini merupakan kegiatan / aktivitas ekowisata di desa Bojong, Purwakarta dengan konsep pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

Atraksi Wisata Setempat
Atraksi wisata yang disuguhkan berupa ragam kegiatan dengan atmosfer dan sentuhan aktivitas alam pedesaan yang memiliki karakteristik khas, terutama rumah panggung yang ditata sedemikian rupa, sehingga berfungsi sebagai sarana wisata berupa akomodasi bagi para pengunjung. Desa ini juga merupakan tempat wisata pendidikan di alam terbuka dan tempat pembinaan siswa bernuansa pedesaan dengan sungai yang masih alami dan memiliki karakteristik yang khas.

Akomodasi yang ada di desa ini berupa rumah panggung khas Jawa Barat, berfungsi sebagai sarana wisata berupa Homestay bagi para pelajar yang akan melakukan penelitian. Kegiatan yang bisa dilakukan di desa ini pun sangat menarik. Pengunjung yang menginap di salah satu rumah dapat mengikuti kegiatan apa saja yang dilakukan pemilik rumah. Contohnya, jika pemilik rumah bekerja sebagai petani, maka pegunjung harus ikut bertani dengan si pemilik rumah. Kegiatan ini dapat menjadi daya tarik untuk orang-orang kota yang memang belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya.

Sehingga bisa menjadi pengalaman berharga yang tidak akan mereka temukan jika mereka tidak ke desa ini. Di desa ini, pengelola belum mematok harga yang pasti untuk penyewaan homestay. Hanya saja, kebanyakan yang datang membayar homestay per malamnya berkisar 150.000 rupiah.

Kunjungan Tidak Dibatasi Waktu
Wisatawan yang datang ke desa wisata ini tidak dibatasi waktu. Mereka dapat datang hari apa saja, karena di desa ini masih belum ada jadwal kegiatan yang pasti. Misalnya, jika wisatawan ingin melihat pertunjukan khas sunda dari warga setempat, mereka harus memberi tahu ke desanya jauh-jauh hari, karena orang-orang yang bersedia menampilkan
pertunjukan calung atau tari hanya orang-orang yang telah lanjut usia saja, belum ada penerus yang mengisi acara seni di desa wisata ini.

Sehingga tidak semua wisatawan yang datang ke desa ini dapat menikmati atraksi seni dan makanan khas Sunda, jika mereka tidak memesan sebelumnya. Hal ini terjadi karena keterbatasan dana yang dimiliki warga setempat, mengingat yang mengelola desanya pun hampir semua dari masyarakat setempat.

Akses jalan menuju ke desa wisata ini cukup mudah karena terdapat transportasi umum yang ada setiap saat, sehingga memudahkan wisatawan yang akan berkunjung ke desa ini. Kendaraan yang bisa masuk ke desa ini yaitu sepeda motor, mobil, bahkan bis. Tetapi jika menggunakan mobil dan bis, pengunjung hanya bisa sampai di bawah desa wisata, tepatnya parkir di depan SD. Dan harus jalan kaki atau bisa menyewa ojek ke atas kira-kira 2 km. Selain kendaraan di atas, pengunjung juga dapat meminta pemandu desa untuk menjemput wisatawan dengan kendaraan yang tersedia di desa yaitu mobil bak terbuka.

Tradisi Sunda di Dewas Wisata
Tradisi dan budaya Sunda masih kental melekat pada masyarakat kampung Tajur. Hal ini langsung terlihat pada saat berkunjung kesana. Lingkungan yang masih asri, dengan rumah pangung khas Sunda menunjukkan sisi budaya yang kuat.

Untuk memasak juga masih memakai peralatan tradisional (kayu bakar), meskipun ada juga yang menggunakan gas bantuan pemerintah. Untuk menghasilkan beras tak jarang pula masih menggunakan lumpang dan alu untuk menumbuk gabah.

Selain itu ada juga tradisi Ngencleng yang masih di jaga, masyarakat kampung Tajur memiliki sebuah tradisi atau kebiasaan unik yang sampai saat ini masih dilakukan, yaitu Ngencleng dimana setiap warga meletakkan sebuah bambu yang berisi beras di depan pintu rumah mereka masing-masing. Tradisi Ngecleng ini dilakukan oleh masyarakat untuk mengantisipasi bencana kelaparan apabila kampung mereka tertimpa musibah seperti gagal panen ataupun hasil panen kurang baik.

Biasanya batang bambu berisi beras yang berukuran 10 cm itu akan diambil oleh petugas keamanan pada malam hari lalu mengumpulkan dan menyimpan beras-beras tersebut di balai desa. Simpanan beras-beras tersebut akan dipergunakan jika panen gagal dengan membagikannya secara merata kepada setiap penduduk atau dijual kembali ke pasar dan hasil penjualannya untuk menutupi kebutuhan kampung seperti pembuatan pagar dan perbaikan jalan.

Kegiatan yang sudah dilakukan secara turun temurun di daerah ini selain Ngecleng adalah Tetunggulan. Tetunggungan atau kegiatan menumbuk padi ini tidak setiap hari dilakukan, hanya pada acara-acara khusus saja seperti penyambutan tamu, hajatan/syukuran, peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. (WISATAJABAR.COM)

JATILUHUR

Merupakan objek wisata bendungan yang ada di Provinsi Jawa Barat. Objek wisata bendungan ini terletak di Kecamatan Jatiluhur dan secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Purwakarta. Dari Kota Purwakarta, wisatawan yang ingin berkunjung ke waduk ini harus menempuh perjalanan sepanjang kurang lebih 9 kilometer.
 
Waduk Jatiluhur dibangun pada tahun 1957 dan baru bisa diselesaikan dengan waktu 10 tahun oleh kontraktor yang berasal dari Negara Perancis. Waduk ini merupakan waduk serbaguna yang pertama kali dibangun di Negara Indonesia. Selain berfungsi sebagai bendungan dan juga sarana untuk PLTA, waduk ini juga banyak diminati oleh pengunjung sebagai objek wisata dari berbagai daerah. Waduk ini juga menjadi sumber irigasi untuk sawah-sawah para penduduk lokal.
 
  Pengunjung yang memiliki hobi memancing biasanya menghabiskan waktu untuk melakukan aktivitas memancing mereka di Waduk Jatiluhur ini. Di waduk ini memang banyak sekali terdapat beragam jenis ikan yang bisa ditangkap dan salah satunya adalah ikan keramba jarring apung yang juga dibudidayakan di kawasan ini. Anda dapat memancing di siang hari ataupun di malam hari. Biasanya saat malam hari suasana di waduk ini semakin ramai karena para pengunjung setelah memancing dapat menikmati hasil tangkapannya seperti ikan bakar yang lezat.
Ada banyak fasilitas lain yang bisa dinikmati di Waduk Jatiluhur seperti kolam renang, restoran atau warung makan, tempat penginapan, bungalow, tempat bermain anak, bar, lapangan tenis, area perkemahan, sarana rekreasi, tempat bilyard, sarana olahraga air, dan masih banyak lagi. Olahraga air yang ditawarkan juga ada bermacam-macam seperti ski air, naik kapal atau perahu, selancar angin, mendayung, dan kapal pesiar. Selain itu, yang menarik di objek wisata Waduk Jatiluhur adalah kita dapat melihat Stasiun Satelit Bumi milik Indosat.
Tentunya tidak hanya berbagai fasilitas yang menarik para pengunjung. Namun, suasana di Waduk Jatiluhur Purwakarta sendiri terlihat sangat permai dengan perbukitan, udara sejuk, pepohonan rindang, serta keadaan yang tenang membuat pikiran lebih rileks. (WISATANESIA.CO)

BALE PANYAWANGAN

Keberadaban suatu bangsa dapat dilihat dari kesungguhan untuk menyimpan dan menjaga catatan peristiwa masa lalunya. Nampaknya, Kabupaten Purwakarta mengilhami betul apa yang tercatat di dalamnya. Pembangunan Bale Panyawangan Diorama Purwakarta menjadi pembuktian bagaimana puing-puing sejarah Kabupaten Purwakarta dikemas dalam bentuk yang lebih atraktif.
Bale Panyawangan Diorama Purwakarta berdiri pada Februari 2015. Diprakarsai oleh Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, yang bertujuan untuk mengangkat peranan arsip sebagai bagian penting dari proses kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Bale Panyawangan Diorama Purwakarta merupakan ungkapan sejarah Purwakarta dan perkembangannya dari masa ke masa, yang ditampilkan melalui perpaduan arsip, seni, dan teknologi. Penggubahan bentuk arsip menjadi karya seni dengan sentuhan teknologi adalah untuk mengenalkan kumpulan arsip sejarah kepada masyarakat dengan cara yang mudah dipahami, dan tentu saja, menarik.
Peristiwa sejarah dibagi menjadi sembilan segmen, di mana masing-masing segmen dikemas apik dalam satu ruangan khusus dan merangkum semua peristiwa dengan sangat jelas. Adapun rangkaian kesembilan materi Bale Panyawangan Diorama Purwakarta tersebut, ialah:
  1. Bale Prabu Maharaja Linggabhuwana, menyajikan Sejarah Tatar Sunda.
  2. Bale Prabu Niskala Wastukancana, merupakan hall of fame yang menampilkan sosok para pemimpin Purwakarta
  3. Bale Prabu Dewaniskala, menggambarkan Purwakarta pada masa pengaruh Mataram, VOC dan Hindia Belanda dalam rentang waktu tahun 1620-1799
  4. Bale Prabu Ningratwangi, menyajikan Purwakarta pada masa Hindia Belanda tahun 1800-1942
  5. Bale Prabu Jayaningrat, menampilkan gambaran Purwakartapada masa pergerakan nasional dan masa pendudukan Jepang
  6. Bale Prabu Ratudewata, menyajikan keadaan Purwakarta pada masa kemerdekaan 1945-1950, dimulai dengan Peristiwa Rengasdengklok, dan pada jaman Demokrasi Liberal tahun 1950-1959
  7. Bale Prabu Nilakendra, menampilkan Purwakarta pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1967
  8. Bale Prabu Surawisesa, menyajikan Purwakarta pada masa pemerintahan 1968-1998, serta Era Reformasi 1998 hingga sekarang
  9. Bale Ki Pamanah Rasa, memberikan gambaran “Digjaya Purwakarta Istimewa” tahun 2008-2018.  (KEBUDAYAANINDONESIA.NET)

MASJID AGUNG BAING YUSUF

Seperti telah disebutkan, Masjid Agung Purwakarta didirikan hampir bersamaan dengan pendopo. Di Jawa Barat khususnya dan di Pulau Jawa umumnya, setiap kota tradisional yang didirikan sebagai pusat pemerintahan kabupaten, memiliki komponen utama berupa pendopo, alun-alun, dan masjid agung. Ketiga komponen itu dibangun hampir bersamaan. Hal itu berarti, pada awal berdirinya Masjid Agung Purwakarta dibangun oleh penduduk Sindangkasih, dipimpin oleh hoofdpanghulu (penghulu kepala) dan di bawah pengawasan Bupati R.A.A. Suriawinata alias “Dalem Sholawat” (1830 – 1849). Pada waktu itu yang menjadi hoofdpanghulu Kabupaten Karawang adalah Raden Haji Yusuf (Baing Yusuf). Ia menjadi Hoofdpanghulu Karawang sejak tahun 1828 (Almanak van Nederlandsch Indie, 1828 : 59). Dalam kedudukan itu, Baing Yusuf juga berperan sebagai pengelola Masjid Agung Purwakarta. Pada tahap awal, kondisi bangunan masjid masih sangat sederhana, sama dengan kondisi bangunan pendopo, yaitu belum berupa bangunan permanen. Atap masjid berbentuk atap tumpang, ciri khas masjid tradisional. Waktu itu, atap umumnya terbuat dari ijuk, dan badan bangunan dibuat dari kayu dan bambu.

Masjid dibangun tidak jauh dari Situ Buleud agar kebutuhan air tidak mengalami kesulitan. Pembangunan masjid tentu dimaksudkan untuk tempat beribadat orang Islam penduduk kota Purwakarta dan Distrik Sindangkasih. Sangat disayangkan, sumber atau data yang menunjukkan jumlah penduduk daerah itu pada tahun 1830-an belum ditemukan.

Masjid Purwakarta menjadi basis penyebaran Islam saat kepemimpinan Baing Yusuf, yang wafat pada 1854. Saat itu, Purwakarta, yang menjadi banyak tempat transit kaum Ero pa beserta misi zendingnya, dianggap per lu mendirikan basis santri untuk me nangg ulangi dampak kristenisasi yang cukup marak pada pertengahan abad ke-19. Sebuah pesantren didirikan Baing Yusuf dengan menggunakan sebagian lahan di belakang Masjid Agung.

Kini, Masjid Agung dipercantik oleh pemerintah dengan dekorasi taman yang tertata dengan rapi dan bersih , membuat Masjid menjadi sejuk dan menyehatkan. Setiap Harinya Masjid ini selalu ramai kunjungan ziarah karena tepat dibelakang terdapat makam Baing Yusuf, beliau merupakan tokoh Agama Islam yang disegani.

BALE MAYA DATAR

Desain arsitektur gedung dan taman-taman Purwakarta sepertinya layak bila disebut yang paling bercitarasa khas kultur daerah di Indonesia. Perpaduan Sunda sekaligus natural modern membuat siapapun nyaman saat mengunjunginya.
Seluruh ide awal tata kota wajah Purwakarta nampaknya mustahil bila hanya dibuat orang biasa, rasa-rasanya tidak mungkin. Karena bila melihat langsung di beberapa titik pusat ruang terbuka ditata begitu matching, pas. Entah siapa yang memulainya wajah kota Purwakarta kian berseri dan semerbak kemana-mana.
Bahkan beberapa fasilitas publik yang ada di Purwakarta konon katanya setara dengan fasilitas publik yang ada di luar negeri sana. Sebut saja Taman Sribaduga. Taman air mancur terbesar ini menjadi simbol baru bagi siapapun yang ingin menikmati tingginya air di atas hamparan air kemudian menyembur dengan segudang pencahayaan yang menyenangkan pengunjungnya. Sekaligus membuat semua orang kagum dan merah muka, setega ini Purwakarta mempermalukan kota besar mereka di Indonesia atau bahkan dunia, yang sesekali terperangah melihatnya. Taman Sribaduga menjadi salah satu persembahan terbaik dari sang pencetus ide untuk negeri ini, mungkin mirip Tajmahal yang dibaut atas dasar cinta hingga tak lekang dimakan masa. Itulah Taman Sribaduga dulu legenda yang kemudian menjadi nyata.
Setelahnya Taman Citra Resmi, kisah cinta yang diabadikan dalam buku sejarah Sunda. Lalu kini telah benar-benar nyata disaksiakan seluruh masyarakat, tidak saja dari Purwakarta tapi dari mana-mana, ya dari mana-mana. Taman Citra Resmi yang berada dekat Taman Sribaduga menambah yakin kalau arsitektur Purwakarta dibangun secara sistematis dari alur cerita. Secara tidak langsung pencetus ide benar-benar faham bagaimana alur cerita sejarahnya begitupun akhirnya.
Tapi setelahnya ternyata ada Taman Surawisesa atau taman yang diperuntukan bagi mereka anak muda bermain dan belajar bersama di ruang terbuka. Belajar dari apapun termasuk dari teman sebangku, sekelas bahkan sekampung dan dari alamnya yang terjaga. Tidak disangka kalau desainnya seperti itu, tapi tak ada salahnya namanya anak muda senang mencari jati diri, ingin bebas dan mengkpresikan identitasnya kepada khalayak. Keragaman itu dibalut menjadi satu dalam jelaga keberanian, keterbaharuan dan semangat untuk masa depan negeri. Mereka anak muda yang selalu ingin tahu akan luasnya pengetahuan dan dunia.
Taman Pancawarna, Sepertinya tidak asing bila mendengar pancawarna, maklum negara telah lebih dulu mempopulerkannya kepada dunia dengan sebutan Pancasila. Terdengar berujungan kata yang tak sama tapi sejujurnya Pancawarna pun dimungkinkan memiliki artian yang sama atas dasar keragaman dan kemajemukan warga negara Indonesia.
Di Jalan Gandanegar yang menjadi kantor abdi negara berkarya sejujur-jujurnya tanpa sekat ruang di dalam gedung yang sama. Seragamnya sama saja, tapi tugasnya berbeda-beda. Taman Pancawarna pun sedemikian persisnya dengan abdi negara. Dalam satu hamparan bunga di ruang dan tempat yang sama namun sebetulnya berbeda. Dari taman ini terlihat beraneka warna, kuning, jingga, ungu, merah, hijau dan warna lain yang tidak dapat diklasifikasikan sempitnya kata. Tercium semerbak bunga yang tidak saja dengan rasa yang sama tapi berdeba, ya sama sekali berbeda. Darinya lahirlah kekuatan rasa yang membuat siapapun takjub karenanya.
Masih ada taman? Taman Maya Datar. Maya Datar telah menjadi kosakata baru bagi warga Purwakarta. Dulu taman ini biasa disebut alun-alun tapi kini sudah berbeda, namanya Taman Maya Datar. Taman Maya Datar dimulai dari balai yang dibangun megah dengan cita rasa natural tanpa sekat sekalipun. Maya Datar sekaligus menjadi nama Alun-alun Purwakarta  yang dahulu bernama Alun-alun Kian Santang. Kini Alun-alun Maya Datar menyajikan dua menu taman yang indah yakni Taman Maya Datar itu sendiri dan Taman Pesanggrahan Padjadjaran. (GUEBANGET.COM)

BALE NAGRI